Minggu, 05 Juli 2015

DEKUALINIUM KLORIDA


TINJAUAN UMUM ZAT AKTIF DAN SEDIAAN

1.   Deskripsi Umum Senyawa Aktif
Dequalinum klorida (Dirjen POM.1995 ; 283)
Nama Resmi              : DEQUALINII CHLORIDUM
Nama Lain                 : Dekualinium klorida
Nama Kimia              : N,N-Decamethylenebis(4-amino-2-methylquinolinium
chloride)    
Rumus Molekul         : C30H40Cl2N4
Rumus Struktur         :




Berat Molekul            : 527,6
Pemerian                    : Serbuk, putih krem, tidak berbau atau hamper tak berbau.
Kelarutan                   : Sukar larut dalam air, larut dalam 30 bagian air mendidih, sukar larut dalam propane 1,2-diol.
Penyimpanan             : Simpan dalam wadah tertutup baik
Kegunaan                  : Sebagai zat aktif
Incompabiliti             : Tidak kompatibel dengan sabun dan surfaktan anionic lainnya, dengan fenol dan dengan chlorocresol
Farmakologi               : Bakterisida terhadap banyak bakteri gram positif dan gram negatif dan efektif melawan jamur
Indikasi                      :  Radang pangkal tenggorokan, hulu tenggorokan, tonsil, infeksi gusi dan selaput lendir rongga mulut.
Efek samping             : Dapat timbul rasa menggigil

Dosis                          : Dewasa dan anak diatas 6 tahun, hisap perlahan 1 tablet, setiap 2 jam setelah gejala mereda, 1 tablet 4-5 jam.

URAIAN DAN ANALISIS FARMAKOLOGI

1.    Nama Obat dan Sinonim
                                                    Klorida Dequalinium adalah quinolinium bisquaternary antiseptik,
bakterisida terhadap banyak Gram-positif dan Gram-negatif
bakteri, dan efektif melawan jamur. Hal ini terutama digunakan dalam bentuk
dari lozenges dalam pengobatan infeksi ringan pada mulut dan
tenggoroka
n (Martindalle 36­th Ed, 2009 ; 1641).

2.    Bentuk Senyawa Zat Aktif
Dequalinum klorida merupakan basa amoniumkwaterner (Quats), dimana senyawa ini berkhasiat bakterisid dan fungisid kuat terkecuali terhadapa hasil TBCdan lepra, terhadap spura dan virus kurang aktif (Tan Hoan Tjay. 2007 ; 648).

3.    Efek Farmakologi dan Mekanisme Kerja Dalam Tubuh
Dequalinum klorida merupakan senyawa antimikroba. Menurut Effionora (1990) dalam Setyaningsih (2004), berdasarkan mekanisme kerjanya antibiotic dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu :
Menghambat metabolisme sel mikroba. Dengan mekanisme kerja seperti ini diperoleh efek bakteriostatik. Menghambat sintesis dinding sel mikroba. Antibiotik akan menghambat proses sintesis dinding sel. Tekanan osmotik dalam sel mikroba lebih tinggi daripada di luar sel, sehingga kerusakan dinding sel mikroba akan menyebabkan terjadinya lisis, yang merupakan dasar dari efek bakterisidal terhadap mikroba yang peka. Antimikroba yang mengganggu keutuhan membran sel mikroba. Kerusakan membran sel menyebabkan keluarnya berbagai komponen dari dalam sel mikroba. Antimikroba menghambat sintesis protein sel mikroba. Antimikroba yang menghambat sintesis asam nukleat sel mikroba. Antimikroba yang memiliki mekanisme kerja seperti ini pada umumnya kurang mempunyai sifat toksisitas selektif karena bersifat sitotoksis terhadap sel tubuh manusia (Pelczar dan Chan, 1998).

4.    Indikasi dan Kontraindikasi
Indikasi                   : Radang pangkal tenggorokan, hulu tenggorokan, tonsil, infeksi gusi dan selaput lendir rongga mulut.
Kontradikasi          : Pasien hipersensitif (Iso Indonesia. 2007 ; 417).
5.    Dosis, Perhitungan Dosis, dan Aturan Pakai
Dewasa dan anak diatas 6 tahun, hisap perlahan 1 tablet, setiap 2 jam setelah gejala mereda, 1 tablet 4-5 jam.

6.    Efek Samping
Dapat timbul rasa menggigil

7.    Penggunaan Pada Kondisi Khusus, Peringatan Dan Perhatian
Penggunaan tidak melebihi 8 tablet dalam seharinya.

8.      Cara Penyimpanan dan Contoh Sediaan Yang Beredar Di Pasaran
Simpan ditempat sejuk dan kering terlindung dari cahaya. Simpan pada suhu 25 - 30 derajat C. Contoh sediaan yang beredar dipasaran yaitu Cequalin (Erela) tablet 0,250 mg (T). Decemidin Lozenges (Tanabe Indonesia) 0,25 mg/tablet hisap (B). Degirol (Pharos Chemmie) 0,25 mg/tablet hisap (T).



ELISITASI

ELISITASI
Salah satu sumber utama bahan obat adalah tumbuhan. Bahan-bahan bioaktif tumbuhan
umumnya merupakan metabolit sekunder. Secara konvensional metabolit sekunder dapat diperoleh dengan cara mengekstraksi langsung dari organ tumbuhan. Namun cara tersebut memerlukan budi daya tanaman dalam skala besar, disamping itu proses ekstraksi, isolasi dan pemurniannya mahal.
Selain itu bila harus dibuat secara sintetis, harganya akan mahal karena struktur aktifnya sangat kompleks (Balandrin & Klocke,1988). Beberapa kelemahan metode konvensional tersebut, perlu diatasi dengan penemuan metode yang lebih baik. Penggunaan kultur jaringan untuk produksi metabolit sekunder dapat digunakan sebagai alternatif karena dapat mengatasi berbagai permasalahan di atas. Metode kultur jaringan tidak memerlukan bahan yang banyak, lahan yang luas, dapat diproduksi secara terus menerus dan proses pemurniannya lebih mudah karena sel-sel hasil kultur jaringan tidak banyak mengandung pigmen sehingga biaya pemrosesannya lebih rendah. Pada kultur jaringan, kultur sel dan kultur kalus (kumpulan sel yang belum terorganisasi dan belum terdiferensiasi) berpotensi sebagai sarana produksi metabolit sekunder.
Menurut Mantell & Smith (1993), kandungan metabolit sekunder dalam beberapa kultur sel dan kultur kalus masih relatif rendah, oleh karena itu diperlukan metode dalam kultur jaringan yang dapat meningkatkan kandungan metabolit sekunder termasuk bahan bioaktif tumbuhan. Salah satu metode yang banyak dikembangkan adalah metode elisitasi. Elisitasi adalah metode untuk menginduksi secara simultan pembentukan fitoaleksin, metabolit sekunder konstitutif atau metabolit sekunder lain yang secara normal tidak terakumulasi (Barz, et al.,1990). Elisitasi dapat dilakukan dengan menambahkan elisitor abiotik maupun biotik. Elisitor biotik dapat berupa fungi atau ragi. Selain itu, elisitasi merupakan suatu respon dari suatu sel untuk menghasilkan metabolit sekunder. Dalam hal ini adanya interaksi patogen dengan inang akan menginduksi pembentukan fitoaleksin pada tumbuhan. Fitoaleksin itu sendiri merupakan senyawa antibiotik yang mempunyai berat molekul rendah, dan dibentuk pada tumbuhan tinggi sebagai respons terhadap infeksi mikroba patogen. Senyawa yang merupakan bagian dari mekanisme tersebut dapat dianalogikan dengan antibody yang terbentuk sebagai respons imun pada hewan (Yoshikawa&Sugimito, 1993). Elisitor selain dapat menginduksi sintesis fitoaleksin, ternyata dapat juga menginduksi sintesis metabolit sekunder yang bukan fitoaleksin pada kultur kalus dan sel (Eilert et al 1986).
Elisitor terdiri atas dua kelompok, yaitu elisitor abiotik dan elisitor biotik (Logemann 1995).
1.      Elisator abiotik, bisa berasal dari senyawa anorganik , radiasi secara fisik, seperti ultraviolet, logam berat, dan detergen.
2.       Elisator biotic dapat dikelompokkan dalam elisator endogen,dan elisator eksogen,yaitu:
a)      Elisator endogen, umumnya berasal dari bagian tumbuhan itu sendiri, seperti bagian dari dinding sel ( poligogalakturonat ) yang rusak. Rusaknya dinding sel ini, disebabkan oleh suatu serangan pathogen. Dinding sel yang rusak dan terluka oleh karena aktivitas enzim hidrolisis dari serangan pathogen.
b)      Elisator eksogen, bisa berasal dari dinding jamur misalnya kitin, atau glukan. Selain itu dapat berupa senyawa yang disintesis, misalnya protein ( enzim ) ( Salisburry & Ross, 1995 ).
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa metode elisitasi dapat meningkatkan kandungan fitoaleksin dan metabolit sekunder lain pada tumbuhan tertentu. Kandungan fitoaleksin kapsidiol pada kultur sel Capsicum annuum dapat ditingkatkan setelah diberi penambahan ekstrak dari spora dan miselium Gliocladium deliquescens.  Antosianin pada kultur sel Daucus carota dapat ditingkatkan setelah diberi penambahan filtrat sel dan homogenat dari Escherichia coli, Staphyllococcus aureus, Saccharomyces cereviseae, dan Candida albicans.
            Proses penambahan elisitor pada sel tumbuhan untuk menginduksi dan meningkatkan pembentukan metabolit sekunder. Kebanyakan proses elisitasi terjadi ketika elisitor berasal reaksi oleh adanya infeksi patogen pada tanaman. Senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan digunakan untuk mekanisme pertahanan terhadap patogen tersebut.

Mekanisme pertahanan
Tumbuhan memiliki banyak mekanisme pertahanan terhadap serangan patogen yang secar umum gabungan dari dua kombinasi yaitu;
1.      Mekanisme konstitutif
Mekanisme awal yang sudah ada sebelum  infeksi (preexisting). Umumnya sifat-sifat struktural yang berfungsi sebagai penghalang fisik dan menghambat patogen yang akan masuk dan berkembang di dalam tumbuhan.
Contohnya :
a)Lilin pada permukaan daun untuk mencegah terbentuknya lapisan air sehingga tidak lembab (suasana lembab mendukung pertumbuhan beberpa mikroba dan patogen lainnya
b)      Duri pada batang untuk mencegah serangan hewan
c)Kutikula yang tebal dapat meningkatkan ketahanan tumbuhan terhadap infeksi patogen yang masuk ke tumbuhan inang hanya melalui penetrasi secara langsung
2.      Mekanisme induksi
Mekanisme pertahanan yang diinduksi oleh suatu substansi yang disebut sebagai elisitor. Mekanisme induksi inilah yang akan dibahas lebih dalam karena berhubungan langsung dengan proses elisitasi.
Elisitor dan mekanisme elisitasi
1.      ELISITOR
Awalnya elisitor didefinisikan sebagai molekul yang dapat menginduksi fitoaleksin, tetapi sekarang pengertiannya meluas menjadi senyawa yang dapat menginduksi mekanisme pertahanan dan sekresi metabolit sekunder yang berhubungan dengan mekanisme pertahanan yang terjadi pada proses elisitasi. Elisitor selain dapat menginduksi sintesis fitoaleksin, ternyata dapat juga menginduksi sintesis metabolit sekunder yang bukan fitoaleksin pada kultur kalus dan sel.
Klasifikasi elisitor secara umum dibagi menjadi 2 yaitu;
1.Elisitor fisik (berasal dari luka fisik)
2.Elisitor kimiawi (biotik dan abiotik)
2.      MEKANISME ELISITASI
Riset mengenai elisitasi masih dikembangkan hingga saat ini karena mekanismenya sangat rumit. Efek  dari elisitor abiotik yang berpengaruh pada overproduksi dari metabolisme sekunder masih sulit untuk dipahami.  Sampai saat ini hipotesisnya adalah  messenger ion Ca2+ berpengaruh pada integritas membran , inhibisi atau  aktivasi dari jalur intraseluler, dan perubahan tekanan osmotik yang berperan sebagai agen yang memberi tekanan pada produksi metabolit sekunder. Kebanyakan riset saat ini berfokus pada elisitor karbohidrat dan biotik.
Mekanisme umum untuk elisitasi biotik pada tanaman berbasis pada interaksi respetor-elisitor. Ketika sel tanaman berinteraksi dengan elisitor, terjadi aktivitas biokimia yaitu:
a)      Pengikatan elisitor ke dalam reseptor pada membran plasma.
b)      Pengubahan aliran ion sepanjang membran sel tanaman contoh efflux Cl- dan K+ dan influx Ca2+ .
Pada tanaman, ion Ca2+ telah diketahui sebagai perantara pada berbagi respon sel terhadap sinyal dari lingkungan termasuk patogen. Contohnya, pada tanaman parsley, saluran elicitor-responsive calcium channel ¬ telah diidentifikasi dan terjadi influx sementara dari kalsium beberapa menit setalh infeksi fungi. Tanda lain bahwa elisitor dapat menginduksi influx dari proton adalah : turunnya pH sitoplasma(menjadi lebih asam), depolarisasi plasma membran, dan alkalisasi secara cepat pada medium kultur.
c)      Peningkatan aktivitas phospolipid pada beberapa jaringan tanaman setalah berkontak dengan elisitor, sintesis perantara sekunder P3 dan DiAcylGliserol yang memediasi produksi Ca2+ intraseluler, nitrit oksida, dan jalur octacanoid.
d)     Perubahan cepat pada fosforilasi protein. Fosforilasi reversibel memegang peranan penting dalam transfer sinyal tanaman selama melawan tekanan dan patogen.
e)      Aktivasi G-protein yang berperan dalam respon awal elisitor.
f)       Aktivasi NADPH oksidase yang berperan dalam pengasama sitosol.
g)      Reorganisasi sitoskeleton.
h)      Akumulasi protein yang berkorelasi dengan prtogen seperti chitinases dan glucanases, endopolygalacturonases, hydroxyp-roline-rich glycoproteins, dan protease inhibitors.
i)        Kematian sel pada tempat infeksi.
j)        Struktur dinding sel yang berubah.
k)      Aktivasi transkripsi gen yang berhubungan dengan respon terhadap patogen.
l)        Produksi molekul pertahanan tanaman seperti tanin dan fitoaleksin (2-4 jam setelah stimulais elisitor.
m)    Sintesis jasmonic acid dan salicylic acid.
n)      Resistensi sistematik terhadap patogen.

Walaupun begitu tidak semua mekanisme elisitor dalam elisitasi bekerja seperti poin- poin diatas. Masih banyak jalur metabolisme pada tanaman yang mempengaruhinya. Masih diperlukan studi lebih lanjut untuk memahami mekanisme elisitasi pada tanaman karena setiap tanaman dapat memiliki mekanisme yang berbeda- beda.

Selasa, 30 Juni 2015



A.      PROTEIN
                Protein merupakan polimer biologis yang mengekspresikan fungsi dari suatu sel. Protein tersusun dari suatu monomer yang disebut dengan asam amino. Asam amino ini akan saling berikatan membentuk suatu rantai polipeptida, di mana rantai polipeptida ini nantinya akan menyusun protein sehingga protein terlihat seperti memiliki bentuk 3 dimensi. Protein untuk dapat beraktivitas secara maksimal memerlukan komponen ekstra yang disebut sebagai kofaktor. Protein yang tidak berikatan dengan kofaktor ini disebut sebagai apoprotein.
                Protein memiliki peran vital bagi makhluk hidup. Protein membentuk struktur organisme, memainkan peranan utama dalam reaksi regulasi, sebagai carrier molekul tertentu, sebagai molekul pertahanan dan terlibat dalam reaksi signaling. Protein disintsis di ribosom dan DNA yang mengkode pembentukan protein. Banyak sinyal dari perkembangan organisme yang menentukan kode yang mana yang akan ditranskripsikan dan ditranslasi menjadi produk akhir protein.



Sebuah protein sama halnya suatu molekul DNA dan merupakan polimer yang linear dan tidak bercabang. Subunit monomerik pada protein disebut asam amino dan polimer yang dihasilkan atau polipeptidanya. Panjangnya jarang yang melebihi 2000 unit.
Gambar 1. Struktur asam amino




B.      STRUKTUR PROTEIN

1.       Metode Penentuan Struktur Protein
Struktur protein dapat diketahui dengan kristalografi sinar-X atau pun spektroskopi NMR. Namun, kedua metode tersebut sangat memakan waktu dan relatif mahal. Sementara itu, metode sekuensing protein relatif lebih mudah mengungkapkan sekuens asam amino protein. Prediksi struktur protein berusaha meramalkan struktur tiga dimensi protein berdasarkan atas sekuens asam aminonya. Dengan perkataan lain, prediksi tersebut meramalkan struktur sekunder dan struktur tersier berdasarkan atas struktur primer protein.
Metode prediksi struktur protein yang ada saat ini dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok, yaitu metode pemodelan protein komparatif dan metode pemodelan de novo. Pemodelan protein komparatif (comparative protein modelling) meramalkan struktur suatu protein berdasarkan atas struktur protein lain yang telah diketahui. Salah satu penerapan metode ini adalah homology modelling, yaitu prediksi struktur tersier protein berdasarkan atas kesamaan struktur primer protein. Pemodelan homologi didasarkan atas teori bahwa dua protein yang homolog memiliki struktur yang sangat mirip satu sama lain.
Pada metode ini, struktur suatu protein yang disebut dengan protein target, ditentukan berdasarkan atas struktur protein lain atau protein templet, yang telah diketahui dan memiliki kemiripan sekuens dengan protein target tersebut. Selain itu, penerapan lain pemodelan komparatif ialah protein threading yang didasarkan atas kemiripan struktur tanpa kemiripan sekuens primer. Latar belakang protein threading ialah bahwa struktur protein lebih dikonservasi daripada sekuens protein selama evolusi; daerah-daerah yang penting bagi fungsi protein dipertahankan strukturnya. Pada pendekatan ini, struktur yang paling kompatibel untuk suatu sekuens asam amino dipilih dari semua jenis struktur tiga dimensi protein yang ada. Metode-metode yang tergolong dalam protein threading berusaha menentukan tingkat kompatibilitas tersebut.
Struktur protein dapat ditentukan dari sekuens primernya tanpa membandingkan dengan struktur protein lain berdasarkan pendekatan de novo atau ab initio. Terdapat banyak kemungkinan dalam pendekatan ini, misalnya dengan menirukan proses pelipatan (folding) protein dari sekuens primernya menjadi struktur tersiernya (misalnya dengan simulasi dinamika molekular), atau dengan optimisasi global fungsi energi protein. Prosedur-prosedur ini cenderung membutuhkan proses komputasi yang intens sehingga saat ini hanya digunakan dalam menentukan struktur protein-protein kecil.

2.      Tingkatan Struktur Protein
Struktur protein mempunyai tingkatan struktur yang bersifat hirarki, yang artinya bahwa protein disusun setahap demi setahap dan setiap tingkatan tergantung dari tahapan di bawahnya. Adapun tingkatan struktur protein adalah sebagai berikut :
a.      Struktur primer
Struktur ini dibentuk dengan menggabungkan asam amino ke dalam polipeptida. Asam amino dihubungkan dengan ikatan peptida yang terbentuk dengan reaksi kondensasi antara gugus karboksil pada satu asam amino dengan gugus amino pada asam amino kedua. Ujung dari polipeptida yang terbentuk mempunyai sifat kimia yang berbeda: satu mempunyai gugus amino bebas (ujung N atau amino, NH2-) dan ujung satunya mempunyai gugus karboksil bebas (ujung C atau karboksil, COOH-) .







primer.jpg
 




Gambar 2. Struktur primer protein
b.Struktur sekunder
Struktur ini merujuk pada konformasi yang berbeda yang dapat terjadi pada polipeptida. Tipe yang umum yaitu α-heliks dan β-sheet. Keduanya terbentuk karena ikatan hidrogen yang terjadi antara asam amino yang berbeda pada polipeptida. Hampir semua polipeptida yang cukup panjang dapat terlipat ke dalam struktur sekunder.


 








Gambar 3. Struktur sekunder protein


c. Struktur tersier
Struktur ini terbentuk dari lipatan komponen struktur sekunder polipeptida yang membentuk konfigurasi tiga dimensi. Struktur tersier terjadi karena bermacam-macam gaya kimiawi terutama ikatan hidrogen antara individu asam amino dan gaya hidrofobik yang mengatur bahwa asam amino dengan sisi gugus non-polar harus dilindungi dari air dengan menenpatkannya di bagian dalam protein. Ikatan kovalennya disebut jembatan disulfida yang menghubungkan antara asam amino sistein pada bermacam-macam posisi pada polipeptida.







Gambar 4. Struktur tersier protein
d. Struktur kuartener
Struktur ini melibatkan asosiasi dua atau lebih polipeptida, masing-masing terlipat menjadi struktur tersier, dalam protein multisubunit. Tidak semua protein membentuk struktur kuaternair. Hanya protein yang mempunyai fungsi kompleks yang memiliki struktur ini termasuk beberapa protein yang terlibat dalam ekspresi gen. Beberapa struktur protein terikat dengan jembatan disulfida antara polipeptida yang berbeda, tetapi banyak protein terdiri dari asosiasi subunit yang lebih lemah yang dihubungkan dengan ikatan hidrogen dan efek hidrofobik. Protein ini dapat kembali pada komponen polipeptidanya, atau berubah komposisi subunitnya tergantung pada kebutuhan fungsinya.


kuartener.jpg
 



       
       
      Gambar 5. Struktur kuartener protein

Struktur terdasar dari protein yang biasa disebut struktur primer adalah asam amino. Asam amino tersebut akan bertautan satu sama lain membentuk rangkain asam amino yang panjang sekali. Asam amino sendiri dihasilkan dari DNA melalui proses transkripsi dan translasi. Selanjutnya rantai asam amino yang panjang tadi berikatan satu sama lain membentuk struktur kedua yakni struktur sekunder, meliputi alfa-helix dan beta-sheet. Kalau dilihat secara kasat mata memang tidak akan nampak, tapi kalau dilihat struktur kristalnya akan tampak perbedaannya. Struktur sekunder akan berinteraksi menghasilkan struktur tersier yakni berupa doamin-domain atau motif-motif yang sudah memiliki fungsi khusus, berfungsi spesifik terhadap senyawa atau zat lain, bisa substrat atau reseptor, atau ion logam dan lain-lain. Terakhir,domain protein akan membuncah membentuk protein globuler yang besar dan saling bertekukan sehingga beberapa asam amino penyusunnya ada yang terekspos keluar tetapi ada yang bersembunyi di bagian dalam. Struktur inilah yang biasa dikenal dengan struktur kuartener atau fungsional protein.
Setiap protein berbentuk globular dan setiap protein harus mengalami pembentukan keempat struktur tadi dengan baik untuk menghasilkan protein yang fungsional. Proses pembentukan protein ke struktur globular tadi disebut folding (berlipat). Protein folding ini, bisa terjadi dalam kurun waktu yang berbeda-beda, bisa sepersekian detik, atau bisa juga beberapa jam. Tidak semua protein bisa berlipat dalam keadaan yang baik, bisa jadi dalam perjalanan foldingnya, protein kehilangan gaya, energi, sehingga struktur yang  terbentuk justru bukan struktur yang fungsional. Saat Itulah protein berada dalam keadaan inclusion bodies, yakni berlipat membentuk struktur yang lebih kompleks tetapi tidak dapat berfungsi dengan baik karena alasan tertentu.





gambarrr.png
343px-Main_protein_structure_levels_en.png